Sabtu, 17 Desember 2016

admin

Mengenal Lebih Dalam Pong tiku Pahlawan Nasional Dari Toraja



Mengenal Lebih Dalam Pong tiku Pahlawan Nasional Dari Toraja - Pong Tiku (atau Pontiku dan Pongtiku; 1846 – 10 Juli 1907), dikenal dengan nama Ne' Baso, adalah pemimpin dan gerilyawan Toraja yang beroperasi di Sulawesi bagian selatan, sekarang bagian dari Indonesia.
Tiku adalah putra penguasa Pangala'. Setelah Tiku menduduki kerajaan Baruppu', ia menjadi raja, lalu menguasai Pangala' setelah ayahnya meninggal dunia. Lewat perdagangan kopi dan persekutuan dengan Suku Bugis di dataran rendah, Tiku mendapatkan kekayaan, tanah, dan kekuasaan yang besar. Semasa Perang Kopi (1889–1890), kota Tondon diserang oleh penguasa lain, namun direbut kembali pada hari yang sama. Ketika pasukan Belanda menyerbu Sulawesi pada awal 1900-an, Tiku dan pasukannya melancarkan serangan dari benteng. Ia ditangkap pada bulan Oktober 1906. Bulan Januari 1907, ia kabur dan menjadi buronan sampai Juni tahun itu. Ia dieksekusi mati beberapa hari setelah tertangkap.
Tiku merupakan pemimpin pemberontakan terlama di Sulawesi. Gubernur Jenderal J. B. van Heutsz menganggap Tiku sebagai ancaman bagi kestabilan pemerintahan Belanda di kawasan itu. Van Heutsz mengutus Gubernur Sulawesi untuk memimpin penangkapannya. Sejak kematiannya, Tiku menjadi simbol pemberontakan Toraja. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 2002.
oraja Selatan dan Toraja Barat menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan Sidenreng, Rappang dan Sawito sedang Toraja Utara mitra dagangnya adalah kerajaan Bone dan Luwu. Pimpinan orang Bugis dan kerajaan-kerajaan Sidenreng, Rappang dan Sawito adalah Petta Manyoro Lolo (Panglima Angkatan Perang Kerajaan Sidenreng) yang kemudian diketahui bernama Petta Serang, anak dari Raja Sidenreng, sedang pimpinan orang Bugis dari Kerajaan Bone dan Luwu adalah Petta Punggawa (Panglima tertinggi Angkatan Perang Bone, yang juga adalah Putra mahkota dengan nama Andi Baso' Abdul Hamid)
Melalui hubungan dagang antara orang Bugis dan orang Toraja tersebut pemimpin-pemimpin Toraja dapat mengetahui bahwa akan pecah perang antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan yang tidak mau lagi mengakui Perjanjian Bungaya yang mengatur hubungan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan yang sangat merugikan.
Untuk mengantisipasi perang yang akan pecah dalam waktu tidak lama penguasa-penguasa Toraja mengadakan musyawarah di Tongkonan Buntu Pune Kesu' (Kediaman Pongmaramba') dan mencapai kesepakatan antara lain :
Menggalang persatuan antar penguasa dengan menghilangkan semua benih-benih perpecahan dan mengangkat Pongtiku Panglima Perang sedang Pongmaramba' dan penguasa-penguasa adat lainnya sebagai Panglima Pasukan Penghancur. Kesepakatan mereka didasari motto : "Misa' Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate".
Selesai musyawarah, Pongtiku kembali ke daerahnya untuk mempersiapkan dan menyiagakan benteng-bentengnya sebanyak 9 (Sembilan) buah menghadapi perang.Pada bulan Maret 1906, pasukan Angkatan Perang Belanda di bawah Pimpinan Kapten Killian dengan tujuan melucuti  dan mengumpulkan senjata api dari semua penguasa Toraja. Komandan pasukan Belanda memerintahkan Pongtiku datang menghadap dan menyerahkan semua senjata yang dimilikinya. Pongtiku menolak, malah ia menyiagakan semua benteng-bentengnya menghadapi perang.
Perang perlawanan Pongtiku dalam daerahnya sendiri berlangsung selama kira-kira 6 bulan (Mei s/d Oktober 1906) dengan 6 kali pertempuran dan 1 kali pengepungan selama kira-kira 4 bulan (Juli s/d Oktober 1906). Pertempuran tanggal 1 Juni 1906 untuk mempetahankan Benteng Buntu Asu dari serangan Angkatan Perang Belanda di bawah Komando Kapten De Last yang dilakukan dalam 3 gelombang semuanya kandas di muka Benteng dengan menelan banyak korban, Angkatan Perang Belanda dipukul mundur dan dihalau kembali ke Rantepao.
Pongtiku adalah penantang utama datangnya penjajah Belanda di Tana Toraja dan Toraja Utara dan dengan gigih dan gagah perkasa dengan segala kemampuan yang ada padanya mengobarkan perang lebih setahun lamanya, tepatnya dari bulan Mei 1906 s/d Juli 1907.  Ia bertahan dan menyerang musuhnya dari benteng-benteng yang jumlahnya 9 buah yang telah dipersipakan sejak dini. Perang Pongtiku melawan Belanda bukanlah tindakan spontanitas akan tetapi adalah perang yang direncanakan dan dipersiapkan dengan matang yangn merupakan bagian integral dari perang perlawanan Raja-Raja di Sulawesi Selatan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda disebut sebagai Perang Bone III. Demikian hebatnya pertahanan dan perlawanan Angkatan Perang Pongtiku terhadap gempuran Angkatan Perang Belanda, mengharuskan Letjen Swart yang dijuluki oleh Belanda sebagai Pasifikator Van Aceh (Pengaman Aceh) mengambil Komando pertempuran melawan Angkatan Perang Pongtiku yang bertahan tak terkalahkan dalam Benteng Batu di Baruppu'.
Belanda dengan menggunakan taktik seperti taktik yang digunakan terhadap Pangeran Diponegoro, Pongtiku menerima Case Fire, untuk mengadakan perundingan perdamaian dengan Belanda. Kesempatan ini digunakan oleh Belanda untuk membatasi gerak Pongtiku, tetapi Pongtiku menggunakan pula kesempatan yang sama untuk menyelenggarakan Upacara Pemakaman kedua orang tuanya yang wafat dalam Benteng menurut adat Toraja. Sehari sebelum selesai upacara pemakaman kedua orang tuanya, Pongtiku dengan sejumlah pasukan kembali ke medan juang bergabung dengan teman-teman seperjuangannya di Benteng Ambeso yang dipimpin oleh Bombing dan Ua' Saruran dan Benteng Alla' dalam Wilayah Enrekang.
Setelah Benteng Ambeso dan Benteng Alla' jatuh ke tangan Belanda pada Bulan Januari 1907 Pongtiku tidak tertawan, ia berhasil lolos bersama pasukannya kembali ke wilayah kekuasaannya. Dengan petunjuk mata-mata Belanda ia tertangkap lalu di bawa ke Rantepao. Tanggal 10 Juli 1907, ia dieksekusi dan gugur sebagai pahlawan kusuma bangsa di pinggir Sungai Sa'dan, tepatnya di tempat dimana Tugu Peringatan baginya didirikan di Singki' Rantepao.
Meneliti sejarah perjuangan bangsa melawan Pemerintah Hindia Belanda dapatlah diketahui bahwa Pongtiku adalah penantang terakhir yang mengobarkan perang klasik terakhir tahun 1906-1907 di Wilayah Sulawesi Selatan sesuai sumpah yang diucapkannya "Iatu Tolino Pissanri Didadian sia Pissanri Mate Iamoto Randuk Domai Tampak Beluakku Sae Rokko Pala' Lette'ku Nokana' Lanaparenta Tumata Mabusa" (Manusia hanya sekali dilahirkan dan mati, dari ujung rambut sampai telapak kakiku saya tidak akan rela diperintah oleh Belanda)
Pengorbanan tidak sia-sia karena setahun setelah Pongtiku gugur tahun 1907. Pada tahun 1908 bangkitlah perlawanan modern yang dimulai dengan gerakan Budi Utomo atau Kebangkitan Nasional yang disusul dengan perlawanan-perlawanan dari pahlawan dan pejuang-pejuang bangsa yang mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Patung pongtiku yang terdapat diratepao, yang menggambarkan penghargan masyarakat toraja kepada pongtiku



Read More
admin

Objek Wisata Pasir Berbisik di Rantebua, Toraja Utara


Gumuk pasir di Rantebua


Objek Wisata Pasir Berbisik di Rantebua - Gumuk pasir adalah gundukan bukit atau igir dari pasir yang terhembus angin. Gumuk pasir dapat dijumpai pada daerah yang memiliki pasir sebagai material utama, kecepatan angin tinggi untuk mengikis dan mengangkut butir-butir berukuran pasir, dan permukaan tanah untuk tempat pengendapan pasir, biasanya terbentuk di daerah arid (kering).
Bentuk gumuk pasir bermacam-macam tergantung pada faktor-faktor jumlah dan ukuran butir pasir, kekuatan dan arah angin, dan keadaan vegetasi. Bentuk gumuk pasir pokok yang perlu dikenal adalah bentuk melintang (transverse), sabit (barchan), parabola (parabolic), dan memanjang (longitudinal dune).
Gumuk Pasir ternyata ada juga di Toraja. Bikin Herankan? Kok bisa. Apa yang Tidak jika Tuhan Perkenankan. Tuhan sayang Toraja, makanya selalu Tuhan Kasih Pesona Alam yang Luar biasa Indahnya. Biar Toraja Selalu jadi Berkat untuk Semua
Gumuk Pasir ini, Letaknya di sebuah daerah terpencil Sumalu di Kecamatan Buntao, Rantebua, Toraja Utara. ada sekitar 45 Menit dari Kota Rantepao jika di tempuh menggunakan Kendaraan roda 2
Loaksi destinasi wisata  ini sejak satu minggu belakangan kini mulai ramai dikunjungi oleh pemburu keindahan panorama yang unik. Saat berada ditempat ini serasa berada di padang pasir yang berbukit dengan sapaan dan suara bisikan angin dari setiap celah lembah berpasir ini, sungguh terasa mengagumkan; ada sensasi yang cukup sulit dilukiskan dengan kata-kata. Alunan suara angin dari setiap sudut lembah dan bukit seakan berbisik membuai pendengaran. 
Bukit pasir atau gumuk pasir (sand dune) merupakan sebuah bentukan alam karena proses angin yang disebut sebagai bentang alam Eolean (eolean morphology). Angin yang membawa pasir akan membentuk bermacam-macam bentuk dan tipe gumuk pasir. Bentang alam seperti ini sering dijumpai di daerah gurun pasir, tapi entah kenapa gumuk pasir ini ada di Rantebua. Anda penasaran? Silahkan kunjungi tempat ini. (herson).
Objek Wisata Pasir Berbisik di Rantebua, Toraja Utara, Pesona Alam Toraja Utara Sulawesi Selatan, Tempat Liburan Di Toraja
Read More

Jumat, 16 Desember 2016

admin

Nilai Kerbau Bagi Masyarakat Toraja

Kerbau belang(Tedong Bonga)

Berbicara soal ritual adat Toraja dan kerbau atau dalam bahasa Toraja disebut Tedong, kedua-duanya memiliki hubungan yang erat. Kerbau merupakan salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat Toraja untuk melakukan ritual adat Rambu Solo’ (upacara kedukaan/pemakaman). Maka tak heran lagi jika harga jual-beli kerbau(tedong) di Toraja begitu fantastis, di Toraja harga seekor kerbau yaitu berkisar antara puluhan juta hingga mencapai ratusan juta rupiah, fantastis bukan?

Dengan adanya kerbau pada setiap upacara adat Rambu Solo', bagi sebagian besar masyarakat di Toraja sering dikait-kaitkan dengan status sosial seseorang. Selain sebagai elemen utama dalam ritual adat, mungkin alasan inilah yang menjadi salah satu pemicu mengapa kerbau di Toraja begitu istimewa sehingga harga seekor kerbau saja bisa melambung semahal itu. 

Dalam sebuah acara pemakaman besar yang biasanya dilakukan oleh keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang akan dikorbankan bisa mencapai puluhan sampai ratusan ekor, kerbau-kerbau yang akan dikorbankan tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat di kampung tempat diadakannya upacara dan juga kampung disekitarnya. 

Kerbau yang akan dikorbankan juga memiliki tipe-tipe/jenis-jenis tertentu yang menentukan nilai tingkatan/kasta masing-masing kerbau, hal tersebut dapat kita lihat pada ukuran kerbau, bentuk kerbau, tanduk serta perpaduan warna kerbau
Dengan demikian dalam setiap pesta adat akan banyak kita jumpai berbagai jenis kerbau yang akan di korbankan.
Read More
admin

Identitas Etnis Toraja

potret suku toraja pada jaman dulu
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan  oleh Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. 
Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir To, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kalinya digunakan sebagai sebutan penduduk  yang  ada di kawasan dataran rendah untuk penduduk kawasan dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar-seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar kawasan dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. 
Kehadiran misionaris Belanda di kawasan dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak saat itu,  sulawesi-Selatan memiliki empat kelompok etnis utama yaitu suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).
Read More

Kamis, 15 Desember 2016

admin

Wisata Upacara Rambu Solo Di Tana Toraja

Upacara Rambu Solo

Destinasi wisata tradisi lainnya yang tidak kalah populer di Tana Toraja adalah Upacara Rambu Solo. Jika tradisi Ma’nene merupakan ritual “pembersihan” jenazah para leluhur, lain halnya dengan Upacara Rambu Solo yang merupakan ritual penguburan khusus bagi orang-orang yang telah meninggal.

Tana Toraja memang terkenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang masih memiliki kepercayaan kuat terhadap hal-hal gaib dan mistis. Oleh karena itu, masyarakat Tana Toraja memiliki banyak kebudayaan dan tradisi yang berkaitan dengan mayat, arwah, atau hal-hal mistis lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadi daya tarik bagi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk mengunjungi Tana Toraja.

Bagi masyarakat Tana Toraja, orang-orang yang telah meninggal dianggap seperti orang yang sedang sakit. Atas dasar kepercayaan tersebut, mereka yang telah meninggal masih terus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang hidup salah satunya dengan disediakan makanan dan minuman, rokok, sirih, dan beragam sesajen lainnya.

Masyarakat Tana Toraja memiliki kepercayaan bahwa orang yang telah meninggal harus diberikan upacara penguburan yang layak dengan aturan-aturan tertentu. Tanpa dilakukannya upacara penguburan Rambu Solo, konon arwah orang yang meninggal tersebut akan memberikan bencana dan kemalangan bagi orang atau kerabat yang ditinggalkannya.

Upacara Rambu Solo merupakan upacara penguburan yang terdiri atas rangkaian kegiatan yang cukup banyak, membutuhkan biaya yang besar, serta persiapan yang berbulan-bulan lamanya. Selama menunggu persiapan upacara ini, jenazah orang yang telah meninggal tidak dikuburkan melainkan disimpan di rumah leluhur (Tongkonan) dengan dibungkus kain terlebih dahulu.

Salah satu ciri khas dari upacara ini adalah adanya kegiatan wajib memotong kerbau dan babi dengan jumlah yang ditentukan tetua adat. Biasanya, semakin kaya dan tinggi pangkat seseorang di Toraja, biaya upacara pemakaman yang dikeluarkan pun akan semakin mahal.

Jika orang yang meninggal berasal dari kalangan bangsawan, keluarga bangsawan tersebut harus mengadakan upacara Rambu Solo dengan memotong kerbau dan babi sekitar 24 sampai dengan 100 ekor. Satu di antara sekian jumlah kerbau tersebut harus merupakan kerbau belang yang terkenal memiliki harga sangat fantastis sekitar 500 juta hingga 1 miliar.

Hal yang unik sekaligus menegangkan dari upacara ini adalah kerbau-kerbau yang menjadi kurban tersebut tidak dipotong selayaknya hewan ternak, melainkan dipotong dengan satu kali tebasan sebilah parang tajam pada lehernya. Kerbau pun akan langsung mati terkapar sesaat setelah tebasan parang itu.

Mengapa harus kerbau? Masyarakat Tana Toraja memiliki kepercaaan bahwa arwah dari orang yang telah meninggal membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanan menuju Puya atau alam akhirat. Semakin banyak kerbau yang disembelih, semakin cepat juga arwah tersebut akan sampai ke Puya.
Upacara Rambu Solo biasanya berlangsung selama berhari-hari sekitar 2—3 hari dan dimulai pada saat siang hari. Untuk kalangan bangsawan, biasanya upacara ini berlangsung hampir 2 minggu lamanya. Kegiatan lain dalam upacara ini selain pemotongan kerbau adalah menyiapkan kuburan bagi jenazah yang akan dikuburkan.

Kuburan tersebut dibuat di bagian atas tebing bukit batu yang tinggi. Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa semakin tinggi jenazah diletakkan, akan semakin cepat juga arwah jenazah tersebut sampai ke surga atau nirwana.

Upacara ini juga dilengkapi dengan iringan musik, nyanyian, lagu-lagu, puisi, dan lain sebagainya. Selama upacara berlangsung, jenazah orang yang telah meninggal tetap disimpan di rumah leluhur (Tongkonan). Arwah jenazah ini dipercaya masih berada di desa atau di sekitar tempat tinggalnya sampai upacara selesai. Setelah upacara selesai, jenazah baru akan dikuburkan di kuburan yang telah dipersiapkan. Saat itulah masyarakat Tana Toraja percaya bahwa arwah dari jenazah tersebut akan memulai perjalanan menuju Puya.

Bagi Anda yang ingin menyaksikan langsung upacara ini, Anda disarankan untuk menghubungi travel agent yang menyediakan wisata ke Toraja dengan daftar Upacara Rambu Solo sebagai salah satu destinasinya. Pasalnya, upacara ini tidak berlangsung dalam kurun waktu yang rutin, melainkan baru diadakan ketika ada salah satu warga Toraja yang meninggal. Biasanya, travel agent memiliki link khusus yang akan memberikan informasi kapan upacara Rambu Solo di Tana Toraja diselenggarakan.

Jika Anda tidak ingin menggunakan travel agent, silakan berpergian ke Tana Toraja ala backpacker-an. Naluri atau instinct Anda diperlukan di sini. Jika beruntung, Anda akan sampai ke Tana Toraja tepat saat upacara Rambu Solo berlangsung. Selamat mencoba! Jangan lupa, pesan tiket pesawat murah ke Toraja di sini.
Read More
admin

Tradisi Ma'nene Di Tana Toraja

Tradisi Ma’nene





Salah satu tradisi khas Tana Toraja yang telah menjadi destinasi wisata tradisi populer bagi turis lokal maupun mancanegara adalah tradisi Ma’nene. Tradisi Ma’nene merupakan tradisi mengenang leluhur dengan cara membersihkan dan menggantikan baju mayat para leluhur masyarakat Tana Toraja. Tradisi ini secara khusus dilakukan oleh masyarakat Baruppu yang tinggal di pedalaman Toraja Utara.

Bagi masyarakat di wilayah Baruppu, mayat atau jenazah kerabat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari anggota keluarga yang masih hidup. Selain itu, Masyarakat Baruppu memiliki kepercayaan bahwa meskipun secara jasad telah meninggal, arwah para leluhur tetap “hidup” dan mengawasi keturunannya dari alam lain.

Oleh karena itu, setiap 3 tahun sekali atau sekitar bulan Agustus saat telah lewat masa panen, dilakukan “pembersihan” terhadap mayat atau jenazah kerabat mereka. Caranya adalah dengan mengeluarkan “mumi” jenazah dari dalam peti untuk dibersihkan dan digantikan pakaiannya dengan pakaian yang baru. Tidak hanya dipakaikan pakaian baru, mayat para leluhur ini juga didandani dengan rapi selayaknya orang yang akan menghadiri sebuah pesta.

Peti berisi jenazah para leluhur ini dikeluarkan dari dalam liang gunung batu. Kemudian, jenazah leluhur yang berada di dalam peti juga dikeluarkan sambil diiringi dengan pembacaan doa-doa dalam bahasa Toraja Kuno. Setelah dikeluarkan, mayat tersebut diangkat dan dibersihkan mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan menggunakan kain bersih.
Setelah dibersihkan, mayat tersebut didandani, dipakaikan baju baru, lalu didirikan. Keluarga mayat tersebut biasanya memangku, mendirikan, dan menjaga mayat agar tidak menyentuh dasar tanah karena hal itu merupakan pantangan dalam tradisi ini.

Uniknya, mayat para leluhur masyarakat Toraja ini bisa berdiri dengan tegak dan berjalan layaknya masih hidup, lho. Hal tersebut diyakini bisa terjadi karena doa-doa dan mantra-mantra yang dipanjatkan para tetua dan pemimpin tradisi sebelum tradisi dimulai.

Jangan coba-coba menyentuh mayat yang sedang berdiri atau berjalan. Jika mayat yang sedang berdiri atau berjalan ini terkena sentuhan, efek mantra atau hipnotisnya akan hilang dan mayat tersebut akan terjatuh. Selain itu, orang yang menyentuh mayat tersebut hingga jatuh adalah orang yang wajib membangunkan mayat itu kembali ke posisi semula. Para wisatawan yang hadir dalam tradisi ini biasanya akan diingatkan secara keras oleh para tetua adat yang memimpin tradisi ini.

Lalu, ke manakah mayat-mayat ini berjalan? Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa mayat-mayat leluhur ini akan berjalan pulang ke rumahnya masing-masing. Ketika sampai di rumah, mayat-mayat ini akan berbaring seperti sedia kala.

Untuk budaya unik yang satu ini, kita patut berbangga. Pasalnya, kebanyakan wisatawan mancanegara sangat tertarik untuk melihat tradisi “mumi” yang seringkali dianggap mustahil ini. Konon katanya, seperti melihat serial The Walking Dead di dunia nyata!

Jika ingin melihat langsung tradisi ini, pastikan Anda datang ke Tana Toraja sekitar bulan Juli—Agustus. Anda juga disarankan untuk melakukan persiapan dengan matang salah satunya adalah tiket pesawat. Pesan tiket pesawat menuju Kota Makassar dari jauh-jauh hari agar Anda mendapatkan harga tiket murah. Pesan tiket di sini.
Read More

Rabu, 14 Desember 2016

admin

Sejarah tanah toraja




Teluk Tonkin, terletak diantara daerah Vietnam utara dan daerah Cina selatan, dipercayai sebagai tempat asalnya suku Toraja. Telah terjadi akulturasi yang panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran dari Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, yang akhirnya pindah ke dataran tinggi.

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis

Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan kemudian disebut Tana Toraja. Tana Toraja pada awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan bagi Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja yang berpindah ke agama Kristen.

Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Read More
admin

Asal-Usul Suku TORAJA




Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Asal usul kata Toraja sampai saat ini masih menjadi perdebatan termasuk berbagi versi dan referensi masing-masing. Ada beberapa versi asal kata Toraja diantaranya sebagai berikut; dari istilah orang Bugis yang menyebut, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Namun beberapa sumber lain menyatakan bahwa orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya (dalam keseharian kita masih sering mendengar orang-orang tua di Toraja menyebut Toraja dengan kata tersebut), berasal dari 2 kata yakni To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar | bisa diartikan orang-orang besar atau bangsawan). Seiring waktu dan beberapa perubahan ejaan, kata Toraja masih mempertahankan ejaan lama dalam penulisannya. Adapun kata Tana dapat diartikan sebagai negeri. Hingga dikemudian hari wilayah pemukiman mayoritas suku Toraja lebih dikenal dengan sebutan Tana Toraja, yang akhirnya menjadi nama kabupaten dalam wilayah admistrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. 

Diatas adalah beberapa versi yang sering kita baca dari berbagai literatur. Memang jika menyangkut asal-usul nama Toraja masih perlu dikaji lebih mendalam sumber sejarahnya, dan hal tersebut tentunya bukanlah sesuatu yang mudah tanpa kerjasama dari berbagai pihak. 


Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.


Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

Read More